Certified Instructors-Indonesian Board of Hypnotherapy

Sunday, March 13, 2011

Kalau kau Pernah Takut Mati, Sama… (Lemparkan saja!)

Halo Sahabat, sudah lama rasanya tidak menyapa Anda semua. Rindu rasanya menulis untuk Anda, berbagi manfaat untuk kemudian Anda bagikan kembali pada orang-orang tercinta disekitar Anda. Seperti tujuan setiap saya menulis, selalu ingin menjadi virus positif yang menyebar menginfeksi semua pikiran manusia disegala penjuru dunia. (Hehehe... gak bermaksud lebay, Sahabat... ini beneran)

Judul diatas saya ambil dari potongan lirik lagu Letto;”Sampai Nanti-Sampai Mati”. Secara tidak kebetulan cocok untuk menceritakan pengalaman saya membantu orang lain mengendalikan fobia.

Isu tentang kematian merupakann ide yang yang dapat menyebar ke setiap pikiran manusia bagaikan virus yang menginfeksi. Ketakutan akan mati membuat orang menggunakan cara-cara untuk menghindarinya atau paling tidak mempersiapkannya.

Itu mengapa ide tentang Asuransi menjadi menarik untuk dibeli karena isu kematian ini, dan ide menonton film horor yang penuh dengan adegan kematian juga masih tetap laris di masyarakat, Bahkan acara-acara yang berhubungan dengan kekerasan terus memeroleh rating tinggi di televisi. Acara terakhir yang masih hangat adalah terjadinya Tsunami Jepang baru-baru ini dan ancaman gelombangnya yang diperkirakan sampai ke Indonesia yang, Thanks God, tidak terjadi.

Fobia sendiri dapat diartikan sebagai ketakutan yang berlebihan pada hal-hal tertentu. Ketika stimulus (rangsangan) penyebab fobia dimunculkan, ketakutan yang luar biasa akan muncul dan akan sangat mengganggu aktifitas dalam hidup pengidapnya.

Mungkin bagi banyak orang ketakutan berlebih pada cicak adalah hal yang lucu karena cicak adalah hewan kecil yang lemah, tetapi bagi pengidap fobia binatang ini terlihat sangat besar dan menakutkan.

Saat berada di Timika-Papua dalam rangkaian pelatihan tiga hari disela-sela makan malam, saya berkesempatan membantu seseorang mengendalikan perasaan takutnya. Bukan menghilangkan, Sahabat. Tetapi mengendalikannya.

Saat itu kami berlima, tiga orang Agency Manager sebuah perusahaan asuransi dan Bu Anna (bukan nama sebenarnya), istri dari salah satu Manager tadi.

Bu Anna bercerita tentang Fobia Ketinggian nya. Bagaimana keringatnya bercucuran dan jantungnya berguncang seperti hampir copot, katanya.

“Bu, yang seperti ini sih saya sudah biasa hadapi, gampang Bu.” Kata saya yang tidak bermaksud sombong tetapi sedang membangun kredibilitas. Seperti seorang dokter yang membangun kredibilitas dengan jas putihnya, dan bukan kebetulan salah satu dari Manager itu adalah dokter bedah.
“Tapi Bu Anna tahu kan, bahwa kebanyakan orang takut mati? Atau Bu Anna bisa menanyakan pada setiap orang di rumah makan ini apakah mereka punya kekhawatiran saat berada dalam setiap penerbangan.”

“Iya, Pak.” Jawabnya.

Penting dalam sebuah terapi untuk memiliki batasan-batasan normal sehingga klien tahu apakah ia sudah berhasil keluar dari ketakutannya atau belum.

“Pertanyaan saya adalah apakah Bu Anna benar-benar ingin saya bantu dan apa pentingnya bagi Bu Anna terbebas dari ketakutan ini?” Ini adalah pertanyaan komitmen dan kontrak tidak tertulis antara klien dan terapisnya. Fungsi saya sebagai terapis hanya membantu dan usaha klien sendiri lah yang membuat ia terbebas dari ketakutan yang berlebih.

“Ya penting lah, Pak. Kami kan sering bepergian menggunakan pesawat dan setiap kali melakukan perjalanan saya menderita.” Jawab Bu Anna.

“Betul, Pak. Setiap kali lepas landas tangan saya di cengkeram kuat.” Timpal pak Baim, suaminya, sambil memperagakan bagaimana istrinya mencengkeram tangannya.

“Nah, malah bagus dong. Jadi lebih mesra...hehehe...” Sahut saya. Memaknai kembali cengkraman tangan dengan makna yang positif dapat mengurangi ketegangan.

“Iya juga sih, pak, hehehe...” Setuju pak Baim.

Canda dalam sesi terapi juga dibutuhkan untuk menunjukkan pada klien bahwa semuanya terkendali.

“Nah bapak-bapak, sekarang silakan diperhatikan dan teknik ini bisa saja bermanfaat untuk agen-agen yang trauma ditolak nasabah...hehehe...” Lanjut saya dan para leader itu pun memerhatikan.

“Bu Anna, saat ketakutan itu datang apa yang Bu Anna bayangkan?” Tanya saya.

“Pesawatnya jatuh ke laut, Pak.” Jawabnya sambil menunjukkan wajah ketakutan..

“Dalam skala 1 – 10, 1 (satu) adalah tidak terlalu mengganggu dan 10 (sepuluh) sangat-sangat mengganggu. Ketakutan bu Anna skalanya berapa?” Periksa saya.

“10, Pak.” Jawabnya cepat.

“Ketika saya minta membayangkan ketakutan itu, apakah pesawatnya terlihat besar atau kecil, jauh atau dekat, terdengar suara?” Selidik saya.

“Besar sekali, Pak. Pesawatnya meledak di udara sebelum masuk ke laut.” Jawabnya dengan bahasa tubuh yang semakin ketakutan.

“Tenang Bu Anna, setiap yang saya minta pasti aman karena Bu Anna juga tahu bahwa kita masih tetap ada disini tapi memang saya ingin Bu Anna merasakan rasa yang selama ini mengganggu Bu Anna.” Saya memastikan pada klien bahwa cara ini aman dan saya tidak ingin ia mengalami serangan jantung.

“Bu Anna, sekarang buat gambarnya menjadi hitam putih dan perkecil gambarnya dan buat gambarnya semakin kecil dan menjauh.” Pinta saya sambil memerhatikan perubahan-perubahan yang ditunjukkan wajah dan bahasa tubuhnya tanpa ia sadari.

“Dari satu sampai sepuluh, apakah ada perubahan? Berapa angkanya sekarang?” Tanya saya.

“Lima, Pak.”

“Hebat, kunci gambarnya disana.”

“Apa yang Bu Anna bayangkan saat Bu Anna menginginkan ketenangan?.”

“Anak saya, Pak” Jawab Bu Anna.

“Baik, sekarang saya taruh bayangan ketakutan Bu Anna di kanan atas (sambil menggerakkan tangan kanan saya ke atas) dan saya menaruh bayangan anak Bu Anna di sebelah kiri atas (dan menggerakkan tangan kiri saya ke atas). Dan perhatikan saya menarik ketakutan Bu Anna ke tengah (saya menggerakkan tangan saya ke tengah) dan saya membawa bayangan anak Bu Anna menutupinya (saya menggerakkan tangan kiri saya menutupi tangan kanan saya). Sekarang dari 1 – 5 berapa skala nya?”

“3 (tiga), Pak.”

“Hebat...sekarang yang terakhir.” Sambil mengambil sebuah kotak tisu tangan dan bertanya padanya.

“Bu Anna tahu ini apa?

“Tisu, pak.”

“Apa yang akan terjadi dalam kotak ini kalau tisunya saya lempar-lempar seperti ini?” Sambil menarik tisu dengan tangan kanan dan kiri melempar beberapa tisu ke kanan dan ke kiri.

“Kotaknya kosong, Pak.”

“Benar, sekarang kita akan kosongkan angka 3 tadi dengan cara yang sama dalam bayangan Bu Anna. Setiap kali saya katakan ‘muncul’, Bu Anna lempar bayangannya ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Bu Anna bisa sambil menyuarakan prosesnya biar lebih asyik. Dengan suara apapun yang Bu Anna suka, seperti “Swis”, “Wuss”, “Tring”, dan lain sebagainya. Bu Anna akan sangat bersenang-senang dalam prosesnya. Bu Anna dapat menghentikan prosesnya saat dirasa cukup.”

“Siap, Bu.”

“Muncul”, “Wuss”, “Muncul”, “Wuss”, “Muncul”, “Wuss”, “Muncul”, “Wuss”, “Muncul”, “Wuss”.

Bu Anna melakukannya dengan menutup mata dan dari mulutnya hanya terdengar bunyi “Wuss”. Terlihat wajahnya yang awalnya menegang kemudian menjadi berubah santai. Itu tanda bahwa ia sudah bisa mengatasi ketakutannya.

“Sudah, Pak.” Katanya dengan senyum dan membuka matanya.

“Sudah, Bu? Sekarang kalau saya minta memunculkan bayangan itu, apa yang Bu Anna rasakan?”

“Sudah tidak mengganggu seperti tadi, Pak.”

“Bagus, dan mulai saat ini, memang perasaan ini yang Bu Anna tahu dan setiap kali ada perasaan yang mengganggu, caranya mudah, Lemparkan saja!...hehehe....”

Rasa takut adalah manusiawi, dan rasa takut bukan untuk dihilangkan karena melakukannya berarti menghilangkan sisi kemanusiaan kita. Dan itu pentingnya Tuhan ada sehingga kita selalu berdoa terutama saat rasa takut itu datang. Manusia sebagai mahluk perasa, rasa takut datang dan pergi. Sadarilah bahwa rasa ini adalah biasa.

Jika rasa tidak nyaman datang? Lemparkan saja...