Dahulu, saya menganggap bahwa
investasi adalah urusan bank dan juga lembaga keuangan lainnya yang saya tidak
tahu apa itu. Investasi benar-benar alien
bagi saya. Lalu saya mulai belajar tentang apa itu investasi. Diawal masa
belajar, saya (seperti kebanyakan orang lainnya) menganggap bahwa investasi
adalah benda matematis dimana semua isinya adalah perhitungan matematika.
Seperti; berapa dana (modal) yang akan dinvestasikan, berapa tingkat
pengembalian atau bunga yang diperoleh, jika dikalikan keduanya maka berapa
yang akan saya dapatkan dalam beberapa tahun kedepan. Namun ternyata saya
salah. Investasi bukanlah benda matematis, tetapi perihal psikologis.
Yang paling mudah untuk dilihat,
beberapa diantaranya, adalah melonjaknya harga emas ditahun 2008 dan 2009 an,
dimana orang tidak percaya kekuatan dolar Amerika dan mereka menukarkan dolar
dengan emas sehingga permintaan akan emas meingkat tajam yang mengakibatkan
harga emas melambung.
Kedua, adalah yang baru-baru saja
terjadi, yaitu melonjaknya harga dolar Amerika. Persediaan dolar Amerika di
Indonesia menipis karena isu tapering off
Quantitative Easing. Quantitative
Easing adalah kebijakan bank sentral suatu negara untuk “membanjiri”
masyarakat dengan cash sehingga pasar
akan bergairah karena mudah mendapatkan kredit karena kemampuan membayar yang
tinggi dan tentunya akan menggerakkan roda perekonomian negara tersebut. Namun
akhir-akhir ini pemerintah Amerika berencana mengontrol kembali jumlah uang
tunai yang beredar. Hal ini ditanggapi oleh investor dengan menukarkan
rupiahnya dengan dolar Amerika agar ketika kebijakan ini jadi dijalankan,
mereka tidak kekurangan dolar. Perlahan lalu pasti, dolar menghilang dipasaran
dan membuat Rupiah tertekan dan nilainya jatuh. Mengapa Rupiah jatuh dan
bertekuk lutut dihadapan Dolar Amerika? Psikologis! Mereka lebih percaya dolar
ketimbang Rupiah. Percaya atau tidaknya seseorang adalah bukan matematis
melainkan psikologis. Ditambah lagi, orang-orang yang tidak mencintai negaranya
sendiri, Indonesia Raya, ikut-ikutan memborong Dolar Amerika yang malah membuat
nilai Rupiah makin menyusut.
Satu lagi, harga-harga saham yang
sangat bergantung pada harapan atau ekspektasi investor. Saat investor percaya
bahwa sebuah saham harganya akan naik dan kemudian orang-orang ikut memercayai
hal tersebut, maka permintaan akan saham tersebut meningkat dan dengan demikian
meningkatkan harga saham tersebut. Sebaliknya, orang-orang akan menjual
sahamnya saat mereka tidak memercayai bahwa perusahaan tersebut tidak akan
memberikan keuntungan yang baik ditahun yang sama, maka setiap orang menjual
saham perusahaan tersebut yang membuat persediaan saham perusahaan
tersebut berlimpah dipasar kemudian
menuruhkan harga saham tersebut. Nyatanya, di tahun 2008 beberapa perusahaan
dipercaya tidak akan memberikan keuntungan yang baik hingga sahamnya jatuh,
namun tetap saja perusahaan tersebut dapat menciptakan untung besar diakhir
tahun.
Melonjaknya harga emas, dolar,
dan saham, sangat dipengaruhi oleh keputusan psikologis bukan matematis.
Hal serupa juga terjadi saat kita
memutuskan apakah memulai investasi atau menundanya. Jika semua orang berpikir
matematis, maka tidak akan ada orang yang menunda investasi. Mari kita lihat
contoh dibawah ini;
Ali memutuskan untuk
berinvestasi lebih awal untuk persiapan masa pensiunnya sedangkan Amir menundanya hingga beberapa tahun lagi. Ali, yang memulai lebih awal, hanya
mengeluarkan dana Rp. 72 juta dan mendapatkan dana yang jauh lebih besar dari
pada Amir yang mengeluarkan uang lebih besar, yaitu Rp 168 juta. Jelas
bahwa Investasi Bukan (hanya) Matematis, Tetapi (juga) Psikologis.