Certified Instructors-Indonesian Board of Hypnotherapy

Friday, December 18, 2009

Bahkan Anak kelas 1 SD pun Saya Terapi

(pertama kali di posting tanggal 29 Jun 2009 di ibhcenter.org)

Halo Temans, bertemu lagi dan saya merasa sangat Happy walaupun tanpa Salma. Tenang..Bercanda Temans… Masih dalam suasana Ulang Tahun Jakarta dan tentang REFRAMING, apakah Anda masih dapat merasakan kesan positif yang dimiliki Jakarta setelah sedikit pembahasan kita dalam tulisan saya terdahulu yang berjudul Selamat Ulang Tahun Jakarta. Enjoy Jakarta, Enjoy mananya? Tulisan ini masih membahas tentang Reframing sesuai janji saya untuk mencari referensi tambahan terlebih dahulu agar dapat menjelaskan hal ini dengan lebih mudah. Yang saya maksud dengan referensi tentu saja bukan sekedar mengumpulkan literatur tetapi juga harus mengalami apa yang ditulis oleh kumpulan literatur tersebut.

REFRAMING adalah satu seni berpikir mencari alternatif kreatif memandang suatu masalah sehingga dari satu sudt pandang, masalah tidak lagi menjadi beban alias malah terasa indah. Hal ini seperti jika Anda mengganti-ganti FRAME photo didinding ruang tamu rumah Anda. Gambarnya tetap sama tetapi dengan bingkai yang berbeda, perasaan kita ketika memandang photo itupun menjadi berbeda.

Dunia memang tidak bisa di ubah, yang dapat diubah adalah cara kita memandang dunia itu.

Judul artikel ini terdengar lucu, jika saya bukan penulisnya. Dalam kelas Advanced Hypnotherapy di Yan Nurindra School of Hypnotism banyak terjadi diskusi tentang menghipnosis anak, yang ujung-ujungnya dikatakan bahwa menghipnosis anak caranya berbeda dengan cara kepada orang dewasa. Seketika saya memanggil kembali ingatan saya dan...ya...saya pernah melakukan terapi REFRAMING kepada anak SD kelas 1. Yang Anda baca benar...anak SD kelas 1. Yah..memang dia anak saya sendiri, walaupun begitu kan tetap saja dia anak kelas 1 SD (he..he..ga mau salah).

Menjelang terima buku raport, ia menerima hasil Tes Hasil Ujian Kenaikan Kelas. Beberapa pelajaran ia mendapatkan nilai yang memuaskan tapi ada satu pelajaran yang nilainya spontan membuat mamanya menegurnya, begini katanya kepada anak saya,”Yah...Coba kalau kamu belajar lebih giat sebelumnya, pasti kamu bisa dapat nilai bagus, gak kayak sekarang ini”.

Saya memahami perasaan Istri saya yang pada saat itu emosinya sangat terpaut pada nilai anak saya karena tentu ia ingin anak saya mempertahankan peringkat PERTAMAnya di semester pertama. Artinya walaupun perilaku istri saya yang tampak dipermukaan kurang positif, tetapi alasan dibalik itu tetap positif.

Maka yang saya khawatirkan adalah bukan dia melainkan anak saya. Setelah mendengar perkataan Mamanya, wajahnya berubah yang menandakan ia mendapatkan tekanan. Bisa jadi pada saat itu ia tidak suka perkataan mamanya atau ia menyalahkan diri sendiri karena tidak belajar dengan sungguh-sungguh atau bisa jadi ia menganggap ia ”bodoh” dalam pelajaran itu.

Saat itu adalah ketika saya hendak berangkat ke kantor dan saya khawatir pengalaman emosional anak saya itu dibawa sampai malam hari tanpa kendali. Jika itu yang terjadi, dampaknya bisa runyam alias ruwet. Bisa jadi konsep berpikirnya untuk belajar berubah. Mungkin dia akan menjadi malas belajar, mungkin akan terus merasa ”Bodoh”, mungkin akan terus menyalahkan diri sendiri, atau mungkin mengambil ”jalan pintas” untuk mendapatkan nilai tinggi dengan mencontek. Wah, perasaan saya makin kacau saat itu. Untuk berdiskusi dengan istri saya tentang apa yang baru saja ia katakan kepada anak saya, tentu memakan waktu. Walaupun istri saya wanita yang baik untuk diajak diskusi namun untuk berbicara kepada orang dewasa tetap saja memerlukan penjelasan yang panjang.

Tanpa panjang lebar;

1.Langsung saya dekati anak saya dan saya pegang dengan penuh perasaan cinta. Teknik ini harus dilakukan dengan emosional rasa cinta sehingga vibrasi pikiran kita dapat dirasakan oleh anak kita bahwa kita benar-benar mencintainya kemudian ia siap untuk diajak bicara.

2.”Lihat Bapak Nak!” Saya membiasakan berbicara dengan anak saya dengan menatap matanya dan selalu memintanya untuk menatap kearah mata saya. Hal ini tentu membantu untuk mendapatkan vibrasi pikirannya dan sebaliknya ia dapat merasakan apa yang saya pikirkan.

3.”Fan!” (panggilan untuk Muhammad Irfan Maulana Setiawan). ”Berapapun nilai kamu bapak tetap sayang sama kamu. Yang terpenting bukanlah ranking melainkan seberapa giat kamu belajar dan seberapa banyak orang yang memanfaatkan ilmu kamu”.

4.Saat itu wajahnya tampak menjadi agak happy kemudian saya lanjutkan. ”Artinya jika nilai kamu nantinya tidak sesuai harapan, bapak gak akan marah karena bapak sudah melihat kamu cukup rajin belajar dan disini yang terpenting adalah seberapa semangat kamu ingin memperbaiki segalanya menjadi lebih baik.”

5.”Ok, Fan! Irfan sayang Bapak? (dia mengangguk) Sekarang peluk Bapak. (pada saat memeluknya saya bisikkan...) Bapak juga sayang kamu.”

6.Mengutip cara mas Timothy Wibowo dalam artikelnya yang berjudul Meng”hipnosis” anak, perkuat efeknya dengan mengatakan, ”Mulai saat ini kamu semakin sayang sama Bapak dan Mama dan kamu semakin rajin belajar sehingga ilmu yang didapat berguna untuk kamu pribadi dan banyak orang.”

7.Wajahnya mulai benar-benar happy dan saya merasa tenang meninggalkan rumah menuju kantor.

Saya baru saja mengajarkan anak saya untuk memberikan alternatif kreatif dalam konteks orang tua memandang nilai anak. Ia dapat menukar-nukar sudut pandang ini agar tetap merasa Happy dan tidak terbebani.

Seminggu tak terasa, penantianpun berujung manis, anak saya dengan bangga melaporkan bahwa ia kembali menjadi peringkat PERTAMA dikelasnya. Tentu saya memujinya, ”Hebat kamu Fan, Bapak bangga deh.” dan ia pun menjawab, ”Yang penting bukan ranking-nya kan, Pak. Tapi Irfan harus rajin belajar”. Saya tersenyum dan dalam hati mengatakan, ”Luar Biasa, anak ini telah siap menggunakan teknik reframing.”

Lho..lho..lho..Cuma itu kegunaan reframing, terus apa kegunaan lainnya?

Tentu banyak, saya telah mempraktekkan untuk mengubah mindset seorang agen asuransi ditempat saya bekerja menggunakan teknik ini dan hanya memakan waktu kira-kira satu menit, mungkin seperti yang dilakukan Virginia Satir, One Minute Therapy. Baiklah kalau begitu, hal ini akan saya tulis dalam artikel berikutnya.

Sabar ya...